Konstelasi Luka

xeberoz
4 min readMar 5, 2022

--

Ketukan jari telunjuk Saga yang selaras dengan irama musik merupakan pertanda bahwa pemuda itu mulai bosan. Orang yang sejak tadi ia tunggu bersama Reygan tak kunjung datang. Bibirnya boleh saja mengatup diam, tetapi dalam hati ia mengomel; buang-buang waktu! Sementara Reygan masih duduk termenung sembari bersidekap. Tampak begitu serius memikirkan sesuatu hingga tak menyahut ketika Saga berulangkali memanggil.

Rintik gerimis turun membuat aroma kopi kini bersenyawa dengan raksi polusi bercampur air. Sebagian yang jatuh ke atap memercik ke kaca jendela, membuat pandangan ke luar ruangan mengabur. Di antara dersik angin yang menabrakkan diri pada roman-roman di jalan, seorang pria yang kedatangannya tak diharapkan tiba di sana. Membuat Saga yang memang begitu waspada segera menepuk lengan Reygan yang masih sibuk melamun. “Ada Gavrel di pintu masuk,” katanya.

Tentu pemuda itu terlonjak kaget. Refleks hampir saja menoleh ke sana kalau saja Saga tak buru-buru mencegah. Pupil matanya melebar sebelum menggeleng tak percaya; bagaiman bisa Gavrel berada di sana? “Lo lagi ngerjain gue?” bisik Reygan sembari memajukan tubuh. Seenak jidat melemparkan tuduhan yang sontak membuat Saga tersinggung.

“Sekarang bukan waktunya bercanda. Kita harus kabur sebelum dia lihat kita!” Saga balas berbisik, tetapi tiap katanya ia beri penekanan. Pemuda itu bahkan sudah melupakan janji bertemu dengan salah seorang dosen kenalan Reygan yang cukup dekat dengan si Pembunuh. Reygan berusaha mengingatkan, mengatakan kalau kesempatan untuk bertemu dengan orang sibuk amatlah sulit. “Persetan! Lo mau Gavrel lihat kita terus orang-orang suruhan bokapnya ngusik hidup lo lagi?”

Reygan hanya bisa bergeming seolah sesuatu memerangkapnya untuk diam di tempat. Bayangan dirinya dipukuli dan dipermalukan kembali menggerayangi pikiran. Luka yang menjembak dari ubun-ubun sampai sekujur tubuhnya masih tak sebanding dengan rasa sakit akibat tudingan yang ia terima tempo lalu. Pukulan bertubi yang menghantam wajah, perut maupun tulang keringnya kembali terasa nyeri seolah menyadarkan kalau ia harus segera bangkit dan tak perlu mengorek memoar manis yang pernah dilaluinya saat bersama Gavrel.

Saga sekali lagi berbisik memanggil, memaksa Reygan kembali mengurai kesadaran. Detik ketika pemuda itu berada di ambang keputusan untuk tinggal atau pergi, suara panggilan dari arah pintu masuk sayup-sayup terdengar. Orang yang mereka tunggu akhirnya datang di waktu tidak tepat. Gavrel yang baru berniat duduk di salah satu kursi yang letaknya di pojok dan menghadap pantai, seketika menoleh begitu nama Reygan yang mengudara tertangkap rungunya. Waktu seolah berhenti ketika keduanya, Reygan dan Gavrel, berpandangan. Bahkan cerocos dosen kenalan Reygan yang mengatakan dirinya terlambat lantaran hujan hanya terdengar seperti denging nyamuk. Reygan mungkin saja akan tetap mematung di menit kedua kalau saja Saga tak mendorongnya, memberi titah agar pemuda itu segera menemui Gavrel dan menyelesaikan urusan mereka.

Gerimis yang sempat memblokade aktivitas tiba-tiba saja tandas. Putusan Reygan membawa langkahnya beranjang ke tempat Gavrel berdiri. Ketika jarak di antara keduanya semakin terpangkas, Reygan coba mengembuskan napas pelan guna mengurangi sesuatu yang memenuhi rongga dadanya. Sesak kembali menyelinap mencari celah di sela-sela napasnya yang terengah. Meski begitu ia merupakan laki-laki dewasa, sudah semestinya Reygan tak menunjukkan lukanya kendati calar-calar bekas dari pukulan masih menghias roman pemuda itu.

Gavrel memanggil dengan suara rendah dan hampir tak terdengar, sementara Reygan masih sama seperti biasanya. Tegas dan jelas. Hanya ada satu perbedaan mencolok. Reygan tak lagi memanggilnya dengan embel-embel mas. “Bukannya kita butuh bicara?”

Bagaimana Reygan menerbangkan kata dari bibirnya, hanya membuat Gavrel tergugu. Pemuda itu mengemam kembali kalimatnya lantas berjalan menyusul Reygan. Hening cukup lama mengantarkan mereka sampai pesisir. Terpaan angin darat menyibak rambut, membuat Gavrel refleks memejam dan saat membuka matanya perlahan di depannya berdiri Reygan dengan jarak yang sedemikian dekat. Matanya telanjur terpacak pada presensi yang telah lama ia rindukan. Ingin sekali Gavrel merengkuhnya, tetapi sadar hubungan mereka tidak sedekat itu untuk saling memeluk. Setelahnya suara Reygan terdengar berat dan serak, membuat Gavrel sadar lara bukanlah hal yang mustahil diderita siapa saja.

“Saya udah tau semuanya, Gavrel. Soal surat itu dan perasaan kamu. Maaf kalo selama ini kepura-puraan saya menyiksa kamu. Soal apa yang papa kamu bicarakan, itu nggak sepenuhnya salah. Saya memang sedari awal berniat balas dendam, tapi nggak pernah sekali pun saya berpikir buat menjadikan kamu alasan. Orang yang menargetkan kamu kebetulan musuh saya juga. Jadi, sewaktu saya mendapat pekerjaan untuk melindungi kamu, saya kelewat senang. Ternyata menghabiskan banyak waktu bareng kamu membuat niat awal saya berubah. Saya nggak lagi berpikir buat balas dendam karena itu juga nggak menghasilkan apa-apa, yang ada saya malah akan membahayakan kamu. Tapi sekarang saya lega karena kita udah nggak terikat hubungan apa-apa. Kamu mungkin sempat merasa khawatir lihat saya dipukuli, tapi saya nggak apa-apa, Gav,” tutur Reygan tanpa bisa Gavrel interupsi.

Alih-alih berniat buka suara, ia malah terisak dalam kebisuan. Semesta telah mengabulkan doanya untuk mempertemukan kembali mereka. Ucapan Reygan menjadi hal yang tidak lagi penting karena ia tak bisa mendengarnya dengan jelas. Kepalanya begitu sakit, tapi tidak apa-apa. Gavrel bisa menahannya sebentar di depan Reygan. Waktu bersamanya sangat berharga, bukan? Jadi sebelum gelap mengambil alih dunianya, Gavrel melesak memeluk pemuda itu. Coba rasakan degub yang ribut sekali di jantungnya. Begitu pun bisa ia rasakan si mantan ajudan membalas pelukannya erat. Konstelasi luka-luka mereka menguap bersama dengan kesadaran Gavrel yang pelan-pelan lenyap.

--

--

No responses yet