Di ruang kelas, yang mana meja dan kursinya tak tertata rapi, musik terdengar mengalun lembut. Jingga di sisi barat langit memancar hangat, menggapai-gapai jendela yang dibiarkan terbuka, melewati sela-sela teralis. Tirai cokelat muda yang menutupi sebagian sisinya berkibar-kibar, bertengkar dengan angin yang ingin ikut masuk. Dan Dareen duduk menghadap pada kertas gambarnya. Sesekali mencuri-curi pandang pada pemuda yang dibawa oleh dosen Gambar Model beberapa waktu lalu. Namanya Nathan, anak musik.
Pemuda bernama Nathan itu berdiri di tengah-tengah ruangan sebagai model untuk digambar. Tentu saja semua mata tertuju padanya. Namun entah hanya perasaan Dareen saja atau memang benar, Nathan hanya menatap ke arahnya. Ekspresi Nathan sejak awal memang datar-datar saja. Dia punya mata besar dengan tatapan tajam, hidung tinggi, alis yang terlukis tegas, dan bibir tebal berwarna merah gelap dengan tahi lalat di bawahnya. Tubuh pemuda itu jangkung. Jika dilihat-lihat lagi, figurnya memang cocok sekali dijadikan model.
Sayangnya, celaka bagi Dareen. Tangan kanannya yang pegangi pensil untuk menggambar terus saja gemetar. Pemuda itu berkali-kali menghela napas. Berusaha lebih tenang dan fokus. Namun tetap saja, tangannya tak bisa diajak berkompromi. Gambarnya sih tidak buruk-buruk amat. Masih terbilang lumayan, tetapi gerak-gerik konyolnya itu mengundang senyum si model.
Nathan tersenyum. Tipis. Hanya beberapa sekon memang, tetapi kebetulan Dareen juga tengah melirik ke arahnya. Pemuda itu kembali pasang wajah datar.
“Dia lagi ngejek gue?” gumam Dareen lirih. Dalam hati pemuda itu bertanya-tanya, memangnya siapa cowok ini? Apa hak dia menertawakan Dareen? Mungkinkah baginya perkara tangan gemetar begini lelucon?
Tahu-tahu musik yang diputar Pak Sigit, dosen mata kuliah ini, berhenti. Itu artinya waktu ujian mereka telah selesai. Tamat.
Dareen mendengkus. Kedua tangannya kini bergerak merapikan helai-helai rambut yang carut-marut tak karuan. Usai membeli kopi bersama seorang teman, dia memutuskan untuk nongkrong dulu di Warung Asep.
“Kayaknya gue kurang minum kopi. Nih tangan gemeteran mulu dibawa ngegambar,” celetuknya asal.
“Bukan gara-gara salting ditatap sama anak musik tadi?” Gio menahan senyum. Ekspresinya sungguh meledek. Lebih-lebih ketika Dareen menghadiahkan tatap sinis. “Serius, Ren. Gue lihat-lihat dari awal mulai matanya cuma ke lo. Jangan-jangan doi naksir.”
Dareen menyanggah cepat, “Sembarangan. Dia tuh tadi ngetawain gue gara-gara tangan gue nggak bisa diem.”
Baru saja ingin menambahkan, Dareen terpaksa harus mengunci mulut ketika ada suara derap sepatu terdengar bersenggama dengan lantai. Dia berusaha melirik hati-hati saat di sampingnya telah berdiri seorang pemuda jangkung yang sejak tadi dia gosipkan bersama Gio.
Nathan hanya berhenti sebentar guna membenarkan tas gitar yang dia gendong. Lekas berjalan masuk ke Warung Asep, melewati Dareen begitu saja tanpa melirik.
Naksir apanya? Dareen menggeleng-gelengkan kepala.
— -